Rabu, 03 Agustus 2011

Ragam Potensi Wisata Merauke


Dari Sabang sampai Merauke
Berjajar pulau-pulau
Sambung-menyambung menjadi satu Itulah Indonesia....

Masih ingat lagu yang membanggakan itu? Lagu ciptaan R. Surarjo tersebut sering dinyanyikan tatkala kita duduk di bangku sekolah dulu. Sabang adalah kota di bagian paling Barat wilayah Indonesia, terletak di Pulau We, Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan Merauke merupakan kota/kabupaten di wilayah paling Timur Indonesia, Provinsi Papua yang berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini (PNG).
Beberapa tahun lalu, lagu di atas, khususnya larik pertama, sempat "dikomplain" oleh Bupati Merauke Drs Johanes Gluba Gebze. Menurutnya, waktu terbit matahari di Merauke dua jam lebih awal dibandingkan dengan munculnya sang surya di bagian Barat wilayah Indonesia. Tetapi banyak orang menyebut bentang wilayah RI dari Sabang hingga Merauke, bukan sebaliknya.

Terlepas dari ungkapan tersebut, tentu lebih menyenangkan bila Anda melihat dari dekat kekayaan alam dan pesona Merauke. Mengunjungi Merauke, apalagi dari Jakarta, Anda harus siap menempuh perjalanan panjang dan transit di beberapa bandar udara.
Namun kepenatan itu berakhir ketika pesawat mendarat di Bandar Udara Mopah, Merauke. Lelah dan rasa kantuk akibat kurang tidur langsung lenyap ketika mendapati kamar hotel memiliki penyejuk ruangan. Sesuatu yang tak diduga dan terbayangkan dari awal.

Pikiran bakal tak bisa tidur nyenyak karena khawatir terkena malaria, mulai sirna. Mengingat tingkat kelembaban di Merauke cukup tinggi, berkisar 78-81 persen berdasarkan data di Kantor Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) setempat. Apalagi sekitar 75 persen kawasan Merauke masih diselimuti hutan yang cukup lebat.

Potensi Wisata

Kabupaten Merauke merupakan salah satu dari 29 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua, belum termasuk 6 kabupaten baru hasil pemekaran wilayah yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) awal Desember lalu.

Bila di sebelah Timur Merauke berbatasan dengan PNG, maka di Utara berhadapan dengan Kabupaten Boven Digul dan Kabupaten Mappi. Sedangkan di bagian Barat dengan Kabupaten Asmat dan di Selatan terbentang Laut Arafura.

Dengan luas wilayah 45.071 kilometer persegi, Kabupaten Merauke memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Sementara pariwisata dan budaya merupakan salah satu potensi yang turut mendukung. Sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan merupakan sektor-sektor unggulan dan prospektif.

Secara umum potensi wisata di Merauke dapat dipilah-pilah berdasarkan wisata alam, sejarah, dan budaya. Wisata alam meliputi pantai-pantai di bagian selatan, taman nasional, suaka margasatwa atau cagar alam, dan penangkaran buaya.

Wisata sejarah antara lain melihat Tugu Pepera yang menceritakan kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI. Ada juga tugu peringatan masuknya agama Katolik di Merauke. Obyek wisata lainnya Tugu Kembar yang hanya terdapat di Sabang dan Merauke.

Untuk wisata budaya dapat Anda saksikan pada waktu-waktu tertentu atau khusus saat upacara adat atau menyambut tamu negara dan tamu penting yang datang ke Merauke. Di Distrik Kimaam setiap bulan Agustus kabarnya juga diadakan Festival Dambu yang menampilkan tari dan gulat tradisional.

Distrik Kimaam merupakan lokasi terjauh yang dapat dicapai dari Kota Merauke. Setidaknya dibutuhkan waktu 45 menit dengan pesawat perintis atau 12 jam dengan kapal motor. Belum ada rute melalui jalan darat.

Rumah Semut

Topografi Merauke umumnya datar dan berawa di sepanjang pantai. Pantai selatannya dibentuk oleh hutan sedimen, tergolong endapan aluvium. Di beberapa tempat tanahnya mirip tanah rawa seperti lumpur yang berwarna abu-abu. Karena berdataran rendah, jangan berharap Anda melihat gunung di sana.

Pantai yang cukup dikenal Pantai Lampu Satu di Kampung Imbuti, sekitar 4 kilometer dari pusat Kota Merauke. Diberi nama Lampu lantaran di sana ada mercusuar yang tegak berdiri menghadap ke laut. Di pantai dengan hamparan pasir sangat panjang ini, Anda bisa menyaksikan matahari tenggelam (sunset).

Di pantai ini Anda dapat menyaksikan kapal-kapal kayu pencari ikan berlabuh. Lautnya menjadi tempat para nelayan mencari ikan. Beberapa anak kecil asyik bermain pasir dan sebagian bermain sepak bola.

Kondisi serupa juga tampak di Pantai Natsai atau kadang disebut Pantai Wendu karena terletak di Kelurahan Wendu. Berjarak kurang lebih 25 kilometer dari pusat kota, pantai ini bisa dibilang pantai mati. Nyaris tak ada orang dan kegiatan apapun di lokasi ini. Beberapa pondok seadanya yang masih berdiri tampaknya telah lama ditinggal pemiliknya. Di pantai ini ada jajaran pohon nyiur yang melambai-lambai tertiup angin.

Selain pantai, obyek wisata alam yang cukup terkenal dan diminati adalah Taman Nasional (TN) Wasur dan sebagian kecil ke Cagar Alam Kumbe. Para pengunjung biasanya turis dan peneliti yang berasal dari luar Merauke. Jaraknya cukup jauh dari Kota Merauke dan belum ada angkutan umum yang melintas. Kendati dari Kota Merauke jaraknya cuma 15 kilometer, dibutuhkan waktu kira-kira 1 jam untuk mencapai TN Wasur.

Luas TN Wasur 413.810 hektar. Penetapan Wasur sebagai Taman Nasional dikukuhkan lewat Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 448/Menhut-VI/90 tertanggal 6 Maret 1990. Di dalam kawasan TN ini terdapat berbagai jenis fauna dan flora yang termasuk langka dan hanya terdapat di Papua. Beberapa satwa di antaranya adalah Burung Kasuari (Casuarius galeatus), Cenderawasih (Paradisidae), dan Kanguru yang berukuran lebih kecil dibanding kangguru Australia (Marcropus). Dari beberapa jenis kanguru, yang sering ditemui adalah kanguru tanah (Thyloyale brunii).

Sepanjang perjalanan melalui TN Wasur, Anda dapat melihat gundukan-gundukan tanah setinggi 3-5 meter di tepi jalan. Itu adalah rumah-rumah semut yang dibangun selama bertahun-tahun. Penduduk di sana menyebutnya Musamus. Rumah semut ini menjadi simbol semangat bagi masyarakat Merauke.

Tugu Kembar

Obyek wisata sejarah Merauke umumnya berupa monumen atau tugu yang berkaitan dengan peristiwa tertentu, seperti Tugu Pepera yang dibangun pada 17 September 1969 untuk memperingati bersatunya wilayah Irian Barat (sekarang Papua) ke negara Indonesia.

Ada juga tugu peringatan yang berhubungan dengan agama, yaitu 100 tahun masuknya agama Katolik di Merauke (pada 14 Agustus 1905 misionaris Katolik masuk ke Merauke). Sebagian besar warga Merauke beragama Katolik dan Kristen Protestan. Jumlah penduduk diperkirakan mencapai 180.000 jiwa (hasil sensus pada tahun 2005 berjumlah hampir 174.000 orang).

Sewaktu Irian Barat masih dibawah kendali Pemerintah Hindia Belanda, Indonesia menerjunkan sejumlah pasukan untuk merebutnya, termasuk di Merauke yang dipimpin oleh (saat itu) Mayor LB Moerdani (belakangan antara lain menjadi Panglima ABRI). Tepatnya pada 4 Juni 1962. Untuk mengenang peristiwa pendaratan itu dibuatlah Tugu LB Moerdani oleh Pemerintah Daerah Merauke. Obyek wisata ini terletak di Distrik Tanah Miring, kurang lebih 25 kilometer dari Kota Merauke.

Selain itu ada Tugu Sabang-Merauke, tugu kembaran yang hanya terdapat di Sabang dan Merauke. Bentuknya yang sama menggambarkan luas wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Tugu yang masuk ke dalam Distrik Sota ini berjarak sekitar 80 kilometer dari Kota Merauke. Di dekat tugu berdiri pos yang dijaga oleh personil TNI. Tempat yang dulu sepi kini berubah menjadi ramai karena di sekitarnya berjejer warung-warung makanan yang dikelola oleh para pendatang, umumnya berasal dari Pulau Jawa.

Tak jauh dari Tugu Sabang-Merauke, kurang lebih 500 meter, berdiri sebuah tugu yang merupakan garis batas Indonesia dan PNG. Tugu setinggi kira-kira 1,6 meter ini diresmikan pada November 1983. Batas tanda ditetapkan dengan koordinat posisi lintang selatan 8 derajat 25' 45" dan bujur timur 141 derajat 01' 10". Kawasan setelah tugu sebenarnya merupakan daerah tak bertuan (no-man's land) namun sering digunakan pelintas batas sebagai jalan setapak untuk kegiatan ekonomi.

Daging Rusa

Keramaian di Kota Merauke mungkin baru bisa disejajarkan dengan kondisi kota kecamatan di Pulau Jawa. Hampir seluruh kegiatan usaha masyarakat dipusatkan atau berada di sepanjang Jalan Raya Mandala yang panjang, selain di pasar tradisional. Bank, pasar swalayan, toko elektronik, hotel, rumah atau tempat jajanan dapat ditemui di sini. Bahkan gerai-gerai penjual telepon selular dan pulsa mudah dijumpai.

Khusus untuk rumah makan Anda akan sedikit kesulitan menikmati daging sapi atau kerbau. Masakan atau makanan yang menggunakan daging sebagai bahan utamanya sering dihidangkan berupa daging rusa. Harga daging sapi atau kerbau yang lebih tinggi merupakan salah satu penyebab. Namun demikian, bukankah ini menambah pengalaman wisata kuliner Anda?

Beberapa rumah di jalan kecil (sekitarnya) juga dimanfaatkan sebagai sentra kerajinan tangan dan oleh-oleh. Tas, sepatu, ikat pinggang, dan dompet yang dibuat dari kulit satwa, atau dendeng rusa, misalnya. Karena keaslian bahan dan kualitas pembuatan yang baik, seorang teman berniat akan memborong dalam jumlah banyak dan menjualnya kembali di Jakarta dengan harga lebih tinggi.

Ada yang tidak lazim dalam berusaha di sini, sesuatu yang sulit terjadi di daerah lain. Toko dan tempat-tempat usaha nyaris seluruhnya ditutup pada pukul 12-13 dan dibuka kembali pada pukul 17-18 WIT. Dan ini berlaku tiap hari. Tak diketahui dengan pasti sejak kapan dan kenapa ini dilakukan. Begitu juga dengan angkutan umum dalam kota. Tarifnya Rp 2.500 per orang. Tetapi trayeknya bisa berubah mengikuti keinginan sejumlah penumpang ke suatu lokasi di luar jalur utama. Bayangkan kalau ada 1-2 orang lain di dalamnya yang tergesa-gesa namun mesti ikut mengantar.

Jalan di ibu kota kabupaten dan sekitarnya layak dinikmati dan mulus. Barangkali yang patut dibanggakan adalah dipasangnya sebuah jembatan rangka baja sepanjang 565 meter di atas Sungai Maro. Kira-kira 7 kilometer dari pusat kota. Dari atas jembatan ini kita dapat menyaksikan matahari terbit (sunrise) dan terbenam (sunset).

Jembatan ini berperan sangat penting bagi mobilisasi warga, karena menghubungkan beberapa distrik sekaligus seperti Kumbe, Semangga, Jagebob, dan Tanah Miring. Sekadar mengingatkan, di distrik terakhir ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta rombongan sempat melakukan panen raya padi musim tanam 2005/2006 di lahan seluas 4.700 hektar.

Tips Perjalanan

Nama Merauke berasal dari ungkapan "Maro ka ehe liki" yang berarti sungai ini bernama Maro. Kebetulan Kota Merauke sendiri terletak di tepi Sungai Maro. Melalui perjalanan waktu sebutan Maroke atau Meroke akhirnya berubah menjadi Merauke.

Hingga kini baru satu maskapai penerbangan nasional yaitu Merpati yang melakukan penerbangan menuju ke Merauke dari Jakarta dan kota-kota tempat transit. Lainnya hanya sampai di Jayapura atau Mimika (Kabupaten Timika). Namun demikian, dari kedua kota itu ada juga penerbangan ke Merauke.

Di luar waktu transit yang berbeda-beda, lama penerbangan dari Jakarta- Merauke kira-kira 7-8 jam. Sebaliknya, dari Merauke-Jakarta bisa lebih cepat sampai karena tidak transit di Biak. Selain dengan pesawat udara, Anda juga dapat menggunakan angkutan kapal laut. Kabarnya, hanya ada satu kali dalam sebulan, itu pun berangkat dari Surabaya. Sedikitnya diperlukan waktu 9 hari tiba di Merauke bila cuaca bersahabat.

Untuk penginapan banyak pilihan hotel yang memadai dengan harga bervariasi. Setidaknya ada 9 hotel yang sebagian besar terletak di Jalan Raya Mandala. Satu hotel milik pemerintah daerah yang terletak di Jalan Trikora sering menjadi pilihan.

Begitu juga untuk urusan perut. Tak sulit mencari tempat makan yang menunya beragam baik masakan Jawa, Cina, Padang atau makanan Indonesia lainnya. Anda juga dapat menyicipi makanan khas Papua seperti sagu sep dan papeda di restoran tertentu.

Anda bisa menyewa kendaraan roda dua atau empat untuk keliling kota Merauke. Angkutan umum biasanya hanya beroperasi di dalam Kota Merauke. Alternatif lain, mengontak agen dan biro perjalanan setempat.

Sumber: Majalah Travel Club

Menikmati Indahnya Teluk Yotefa

Bumi Papua tak hanya menawarkan budaya yang masih asli bagi para wisatawan. Sebagian alamnya yang nyaris masih perawan pun menjadi daya tarik tersendiri.
Dalam perjalanan dari kota Jayapura menuju Abepura sempatkan berhenti di tempat peristirahatan di Jalan Skyline yang berlokasi tepat di perbatasan kota. Di sepanjang jalan tersebut, lepaskan pandangan untuk melihat-lihat luasnya lautan dan gugusan kepulauan yang berada di antara birunya laut. Pesona lautnya berwarna biru dan air terlihat tenang memberikan sebuah keindahan yang bisa membuat siapa saja yang memandanginya tak akan pernah melupakannya.
Di sebelah kanan jalan ini terbentang Gunung Vim yang menghijau. Gunung Vim ini memiliki keragaman hayati yang masih terjaga keutuhannya, seperti cemara papua, buah matoa, dan kera ekor panjang. Di kaki gunung ini juga terlihat sisa peninggalan Perang Dunia kedua berupa kapal perang Jepang yang karam di pesisir pantai dekat Gunung Vim.
Di sebelah Teluk Yotefa juga terdapat sebuah pulau yang besar yang tak lain adalah bagian dari tetangga Indonesia di bagian timur, Papua Nugini. Teluk ini memiliki dua kampung bernama Tobati dan Enggros yang masih termasuk dalam distrik Kota Jayapura Selatan. Hanya sekitar 100 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami kedua kampung tersebut.
Kedua warga masyarakat kampung ini akan lebih senang dipanggil sebagai orang Enggros. Kata Enggros adalah gabungan dari dua kata, yaitu Engg yang artinya tempat dan Ros, artinya Dua. Baik warga Enggros maupun Tobati memaknai Enggros sebagai kampung yang kedua.
Orang Enggros meyakini, nenek moyangnya berasal dari Gunung Mer. Gunung Mer sendiri berada di hadapan Kampung Enggros yang masih dalam kawasan Teluk Yotefa. Keunikan Yotefa adalah sebuah teluk yang berada di dalam kawasan Teluk Humbolboy. Menjadi menarik memang pemandangannya karena ada teluk di dalam teluk.
Akibat Langgar Adat
Menurut penuturan salah seorang tokoh masyarakat Papua Marthen Drunyl, pada awalnya seluruh Teluk Yotefa merupakan daratan dengan hutan rimba. Di tempat ini hanya ada kolam kecil dan aliran air yang bersumber dari mata air Pulau Msumo (yang sekarang menjadi tempat pemakaman masyarakat Tobati) serta satu lagi kolam kecil yang terletak di pinggiran Kampung Enggros.
Marthen Drunyl, menambahkan, daratan yang indah dan tenang itu kemudian menjadi porak-poranda akibat kesalahan manusia. Daratan ini dihantam ombak yang menyerupai dua hantu dengan air laut. Begitu besarnya air laut yang menyapu daratan ini sehingga terbentuklah pulau-pulau, seperti Pulau Debi, Pulau Msumo, Pulau Hamadi, Kayu Pulo, Kayu Batu, Pulau Holtekam hingga ke Pulau Vanimo di Papua Nugini.
Hantam air laut tersebut dipercaya merupakan kemarahan leluhur karena ada yang melanggar hukum adat. Nenek moyang mereka Mer, yang memiliki 12 orang anak, salah satunya adalah perempuan. Satu dari 11 anak laki-laki tersebut melanggar hukum adat masyarakat setempat, yaitu mengawini adik perempuannya sendiri. Akibat dari perbuatan ini, sang kakak dan adik diusir dari Enggros. Mereka kemudian menempati daerah di pinggiran Danau Sentani yang bernama Yobe.
Peristiwa tersebut, tambah Marthen, menyebabkan orang Enggros terpencar kebeberapa daerah dan mendiami tempat-tempat seperti seperti di Yobe, Asei, Tablasupa, dan Kayu Batu hingga sekarang.
Pilihan Untuk Wisata
Terlepas dari cerita tersebut, pada bulan-bulan tertentu (Juni—September) di teluk ini sering terjadi air laut surut. Sehingga di sekitar Kampung Tobati dan Enggros terbentang hamparan pasir yang berwarna cokelat.
Saat air surut, warga banyak memanfaatkan daratan jadian itu sebagai tempat bermain bola, voli, lomba layang-layang, dan sebagainya. Mengunjungi Kampung Tobati di kawasan Yotefa memang sulit untuk dilupakan. Suasana tenang dan sambutan hangat warga membuat terasa menyenangkan.
Jika saat berkunjung pada saat air pasang pun suasana tetap indah dan menyenangkan karena pengunjung yang datang bisa berekreasi sambil melihat dan berjalan ke perumahan di atas air. "Hei... Ko mo Kemana kah ade nona...mari sini sa antar ko," seruan ini akan selalu menyambut setiap pengunjung yang datang.
Bagi yang ingin menghabiskan waktu liburan di sekitar Jayapura, Enggros dan Tobati kiranya bisa menjadi pilihan yang tepat. Anda bisa menumpang perahu motor dari Dermaga Pasar Yotefa untuk sampai di Enggros. Waktu yang dibutuhkan hingga ke tujuan hanya sekitar 15 menit dengan biaya Rp10.000, tak perlu repot-repot bawa makanan. Kita tinggal memesan ikan apa saja, warga Enggros akan menyediakannya. Tak hanya itu Anda juga dapat menikmati kelapa muda di pesisir kampung Enggros yang memiliki laut tenang dan membiru.
Marwan Azis (Kontributor Jakarta)
sumber : www.agrina-online.com